Skip to Content

Kandang Emas Sang Selectorate

ANALISIS KEKUASAAN, PATONASE DAN KELANGSUNGAN POLITIK DALAM PEMERINTAHAN PRABOWO SUBIANTO


Kandang Emas Sang Selectorate: Analisis Kekuasaan, Patronase, dan Kelangsungan Politik dalam Pemerintahan Prabowo Subianto

Ringkasan Eksekutif

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai konstelasi politik pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di Indonesia dengan menggunakan kerangka Teori Selectorate, sebagaimana dijabarkan dalam buku The Dictator's Handbook. Analisis ini berargumen bahwa struktur dan strategi pemerintahan saat ini secara fundamental beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk memaksimalkan kelangsungan politik pemimpin. Pembentukan koalisi super-gemuk dan kabinet yang sangat besar bukanlah cerminan inefisiensi, melainkan sebuah manuver strategis yang rasional untuk mengkooptasi elite politik dan mengubah mereka menjadi bagian dari Winning Coalition (Koalisi Pemenang) yang loyal. Kabinet Merah Putih berfungsi sebagai "kandang emas"—sebuah Versailles modern—yang dirancang untuk memusatkan kekuasaan, menetralkan lawan, dan mendistribusikan imbalan (barang privat) kepada para pendukung esensial. Laporan ini mengidentifikasi dan mengkategorikan para pejabat kunci—termasuk menteri kabinet, Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung—ke dalam tiga kelompok selectorate: Nominal Selectorate (yang dapat diganti), Real Selectorate (yang berpengaruh), dan Winning Coalition (yang esensial). Lebih lanjut, laporan ini melakukan analisis paralel dengan model kekuasaan absolut Raja Louis XIV dari Perancis, menyoroti kesamaan fungsional dalam strategi manajemen elite untuk memastikan stabilitas dan kelangsungan rezim. Kesimpulannya, pemerintahan ini beroperasi dalam sebuah logika transaksional yang memprioritaskan loyalitas dan kontrol atas sumber daya, yang meskipun efektif untuk stabilitas jangka pendek, namun membawa implikasi signifikan bagi masa depan demokrasi dan akuntabilitas di Indonesia.


1. Logika Kelangsungan Politik: Sebuah Pengantar Teori Selectorate

Untuk memahami secara mendalam dinamika pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, kerangka Teori Selectorate menyediakan lensa analitis yang kuat. Teori ini, yang dipopulerkan oleh Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith, berpendapat bahwa tujuan utama setiap pemimpin—baik dalam sistem demokrasi maupun otokrasi—adalah untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan selama mungkin.1 Untuk mencapai tujuan ini, tidak ada pemimpin yang dapat memerintah sendiri; mereka harus memuaskan sejumlah individu kunci yang menjadi penopang kekuasaannya.3

Mendefinisikan Lanskap Politik: Interchangeables, Influentials, dan Essentials

Teori ini membagi populasi sebuah negara ke dalam tiga kelompok konsentris yang menentukan struktur kekuasaan.1

  • Nominal Selectorate (The Interchangeables/Yang Dapat Diganti): Kelompok ini mencakup setiap individu yang secara hukum memiliki hak suara dalam memilih pemimpin.5 Dalam konteks Indonesia,
    Nominal Selectorate adalah sekitar 204,8 juta warga negara yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2024.6 Mereka merupakan kelompok terbesar dan menjadi sumber potensial bagi pemimpin untuk merekrut pendukung baru atau menggantikan anggota koalisi yang membelot, sehingga keberadaan mereka yang besar sangat menguntungkan pemimpin.3
  • Real Selectorate (The Influentials/Yang Berpengaruh): Ini adalah kelompok yang secara faktual memilih pemimpin.1 Dalam demokrasi multipartai seperti Indonesia, kelompok ini tidak hanya terdiri dari pemilih yang menggunakan hak suaranya, tetapi secara lebih kritis, mencakup entitas-entitas yang mampu memobilisasi suara dan memengaruhi hasil pemilu. Mereka adalah partai-partai politik, konglomerat bisnis besar yang menjadi penyandang dana, organisasi masyarakat yang memiliki basis massa kuat, serta pemilik media berpengaruh.5
  • Winning Coalition (The Essentials/Yang Esensial): Merupakan sub-kelompok terkecil namun paling vital dari Real Selectorate. Dukungan dari kelompok ini mutlak diperlukan bagi seorang pemimpin untuk dapat berkuasa dan bertahan.2 Loyalitas mereka adalah segalanya. Di Indonesia, kelompok ini diterjemahkan menjadi para ketua umum partai politik kunci dalam koalisi pemerintahan, tokoh-tokoh penting di aparat keamanan, dan para oligarki yang menguasai sektor-sektor ekonomi strategis.

Mata Uang Kekuasaan: Barang Publik, Barang Privat, dan Kontrol Pendapatan

Pemimpin menggunakan dua jenis "mata uang" untuk membeli loyalitas Winning Coalition.1

  • Barang Privat (Private Goods): Ini adalah imbalan yang manfaatnya secara eksklusif dinikmati oleh anggota Winning Coalition. Contohnya termasuk transfer uang langsung, kontrak pemerintah yang menguntungkan, dan yang paling relevan dalam analisis ini, jabatan-jabatan strategis di pemerintahan (seperti posisi menteri) yang memberikan kontrol atas sumber daya negara.8 Barang privat sangat efisien digunakan oleh pemimpin dengan koalisi kecil, seperti dalam sistem otokrasi.1
  • Barang Publik (Public Goods): Ini adalah manfaat yang dapat dinikmati oleh seluruh populasi, seperti pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, dan keamanan nasional.9 Pemimpin dalam sistem demokrasi dengan koalisi pemenang yang besar cenderung mengandalkan barang publik, karena memberikan imbalan privat kepada setiap pendukung secara individual akan menjadi terlalu mahal.1

Namun, dalam sistem politik yang didominasi patronase, barang publik dapat memiliki fungsi ganda. Sebuah program infrastruktur nasional (barang publik) dapat dirancang sedemikian rupa sehingga proyek-proyeknya diberikan kepada perusahaan konstruksi yang dimiliki atau berafiliasi dengan anggota Winning Coalition (menjadi barang privat). Demikian pula, program bantuan pangan nasional (barang publik) dapat dipasok oleh perusahaan agribisnis yang terhubung dengan elite politik (barang privat). Oleh karena itu, setiap kebijakan publik harus dianalisis tidak hanya dari tujuan yang dinyatakan, tetapi juga dari aliran dana dan kontrak yang dihasilkannya.

Lima Aturan untuk Berkuasa

Teori ini merumuskan lima aturan utama yang secara universal diikuti oleh para pemimpin untuk menjaga kelangsungan politik mereka 3:

  1. Jaga agar Winning Coalition sekecil mungkin, namun sebesar yang diperlukan.
  2. Jaga agar Nominal Selectorate sebesar mungkin.
  3. Kuasai aliran pendapatan negara.
  4. Bayar pendukung kunci Anda secukupnya agar mereka tetap loyal, tetapi jangan terlalu banyak agar mereka tetap bergantung pada Anda.
  5. Jangan pernah mengambil uang dari pendukung Anda untuk dibagikan kepada rakyat.

Norma Loyalitas: Mengukur Stabilitas Rezim

Stabilitas sebuah rezim dapat diukur melalui "norma loyalitas," yang direpresentasikan oleh rasio ukuran Winning Coalition (W) terhadap Real Selectorate (S), atau W/S.1 Rasio W/S yang kecil, khas otokrasi, menciptakan loyalitas yang tinggi karena anggota koalisi takut kehilangan posisi mereka yang sangat istimewa dan sulit digantikan. Sebaliknya, rasio W/S yang besar, khas demokrasi, menghasilkan loyalitas yang lebih lemah karena anggota koalisi merasa lebih aman dan mudah tergoda oleh tawaran dari penantang.

Presiden Prabowo telah membentuk koalisi super-gemuk yang mencakup hampir seluruh Real Selectorate (partai-partai politik parlemen). Pada pandangan pertama, ini tampak melanggar Aturan #1 (jaga koalisi sekecil mungkin). Namun, jika dianalisis lebih dalam, Winning Coalition yang sesungguhnya—yaitu para pembuat keputusan inti—tetaplah kecil. Kabinet yang besar adalah harga yang harus dibayar untuk mengkooptasi Real Selectorate yang lebih luas dan mencegah mereka menjadi kekuatan oposisi. Strategi ini, meskipun meningkatkan stabilitas jangka pendek dengan menetralkan lawan, secara paradoksal dapat melemahkan "norma loyalitas" di antara para pemain paling kuat, yang mungkin merasa diri mereka tak tergantikan dan berpotensi membentuk faksi-faksi internal, sebuah risiko jangka panjang bagi stabilitas koalisi.10


2. Membentuk Koalisi Akbar: Arsitektur Kekuasaan Prabowo

Konstruksi basis kekuasaan Presiden Prabowo Subianto pasca-Pemilu 2024 merupakan sebuah studi kasus implementasi Teori Selectorate dalam praktik. Proses ini ditandai oleh transisi cepat dari kontestasi elektoral menjadi konsolidasi kekuasaan parlementer yang dominan.

Dari Kontestasi Elektoral ke Dominasi Parlementer

Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran pada awalnya terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, dan beberapa partai non-parlemen.12 Koalisi ini berhasil memenangkan pemilihan presiden dengan perolehan 58,58% suara sah nasional.14 Namun, kemenangan ini tidak menghentikan manuver politik.

Segera setelah hasil pemilu jelas, Presiden terpilih Prabowo secara aktif mendekati dan akhirnya berhasil menarik partai-partai dari koalisi lawan untuk bergabung. Langkah signifikan adalah merapatnya Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang sebelumnya merupakan pilar utama koalisi pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.15 Secara publik, langkah ini dibingkai sebagai upaya rekonsiliasi nasional demi stabilitas. Namun, dari perspektif Teori Selectorate, ini adalah langkah strategis untuk menetralkan potensi oposisi, memperluas basis dukungan di parlemen, dan mengonsolidasikan kontrol atas lanskap politik.

Hasilnya adalah terbentuknya sebuah koalisi super-gemuk (super-sized coalition) yang menguasai mayoritas absolut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif 2024, partai-partai pendukung pemerintah (Gerindra: 86 kursi, Golkar: 102, Nasdem: 69, PKB: 68, PAN: 48, Demokrat: 44) secara kolektif menguasai 517 dari total 580 kursi di DPR.17 Ini setara dengan 89,1% kekuatan legislatif, sebuah angka yang belum pernah terjadi sebelumnya di era Reformasi. Dominasi ini secara efektif melemahkan oposisi, yang kini hanya menyisakan PDI Perjuangan dan PKS dalam posisi yang sangat sulit untuk melakukan fungsi pengawasan yang berarti.11

Mendefinisikan Kelompok Selectorate dalam Konteks Indonesia 2024

Dengan lanskap politik yang telah terkonsolidasi, kelompok-kelompok selectorate dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  • Nominal Selectorate (Interchangeables): Seluruh 204,8 juta pemilih terdaftar.6 Mereka adalah sumber legitimasi demokrasi, namun kekuasaan formal mereka berakhir di bilik suara.
  • Real Selectorate (Influentials): Kelompok ini terdiri dari aktor-aktor kunci yang memiliki pengaruh nyata atas kekuasaan:
  1. Partai Politik: Delapan partai yang lolos ke parlemen, terutama para ketua umumnya seperti Surya Paloh (Nasdem) dan Muhaimin Iskandar (PKB), yang keputusannya membawa gerbong partai mereka ke dalam atau ke luar pemerintahan sangat menentukan.17
  2. Financier dan Oligark: Tokoh-tokoh bisnis yang menjadi tulang punggung finansial kampanye dan memiliki kerajaan ekonomi yang kepentingannya bersinggungan erat dengan kebijakan negara. Ini termasuk figur-figur sentral di Tim Kampanye Nasional (TKN) seperti Rosan Roeslani dan Hashim Djojohadikusumo.20
  3. Faktor Jokowi: Pengaruh besar dari presiden sebelumnya, Joko Widodo, yang dukungannya menjadi faktor penentu kemenangan Prabowo-Gibran.21 Jaringan politik dan birokrasi yang loyal kepadanya menjadikannya seorang
    influential yang unik dan kuat.
  4. Pimpinan Aparat Keamanan: Kekuatan institusional TNI dan Polri, di mana keselarasan pimpinannya krusial untuk menjaga stabilitas rezim.

Kabinet "Gemuk" sebagai Imperatif Strategis

Pembentukan Kabinet Merah Putih yang memiliki 48 menteri dan puluhan wakil menteri (total lebih dari 100 pejabat) adalah konsekuensi logis dari strategi koalisi akbar.22 Ukuran kabinet yang masif ini bukanlah tanda pemborosan semata, melainkan alat utama untuk mendistribusikan barang privat—dalam hal ini, portofolio kementerian—kepada para pemimpin Real Selectorate (partai politik) untuk mengamankan loyalitas mereka dan mengubah mereka menjadi bagian dari Winning Coalition.

Rantai sebab-akibatnya jelas: untuk menjalankan agenda pemerintahannya, Presiden Prabowo memerlukan stabilitas legislatif (mematuhi Aturan #3: Kuasai Aliran Pendapatan). Untuk mencapai stabilitas ini, ia membutuhkan loyalitas para ketua umum partai. Harga dari loyalitas seorang ketua umum partai bukanlah sekadar janji kebijakan, melainkan kekuasaan dan akses nyata terhadap sumber daya, yang secara efektif disediakan oleh sebuah jabatan menteri. Oleh karena itu, untuk menyerap kekuatan besar seperti Golkar, PKB, dan Nasdem, Presiden harus menciptakan cukup banyak posisi bernilai tinggi untuk memuaskan tuntutan mereka. Hal ini secara langsung mengarah pada pembentukan "kabinet gemuk".25 Ini adalah sebuah hasil yang rasional dan dapat diprediksi oleh Teori Selectorate.


3. Memetakan Koalisi Pemenang: Anggota Esensial Kabinet Merah Putih

Analisis ini akan mengidentifikasi dan mengkategorikan setiap anggota kunci dalam pemerintahan Prabowo Subianto, termasuk jajaran kabinet, Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung, ke dalam kerangka Teori Selectorate. Penting untuk membedakan antara mereka yang benar-benar Esensial (bagian dari Winning Coalition) dan mereka yang hanya Berpengaruh (Influential dari Real Selectorate).

Tingkatan Kekuasaan: Membedakan Esensial dan Influential

  • Winning Coalition (The Essentials): Anggota kelompok ini adalah individu yang dukungannya bersifat non-negosiasi. Mereka memiliki basis kekuatan independen yang begitu signifikan sehingga pembelotan mereka dapat memicu krisis yang mengancam rezim. Mereka lebih berfungsi sebagai mitra strategis daripada bawahan. Ciri-ciri mereka termasuk: kontrol atas partai politik besar, komando institusi keamanan kritis dengan loyalitas personal, atau penguasaan sumber daya ekonomi vital yang dibutuhkan oleh negara dan pemimpin.
  • Real Selectorate (The Influentials) dalam Kabinet: Ini adalah para pejabat yang berharga dan kuat, namun pada akhirnya bergantung pada Presiden. Posisi mereka adalah imbalan atas loyalitas atau pembelian atas keahlian spesifik mereka. Mereka tidak memiliki basis kekuatan independen yang cukup untuk menantang pemimpin. Kategori ini mencakup teknokrat, pemimpin partai kecil, loyalis dari partai presiden sendiri, dan para profesional.

Kategorisasi Tokoh-Tokoh Kunci

Berikut adalah analisis naratif mengenai beberapa tokoh paling signifikan sebelum disajikan dalam tabel komprehensif.

  • Lingkaran Terdalam (The Inner Sanctum - Essentials):
  • Budi Gunawan (Menko Polkam): Kekuasaannya melampaui jabatan formalnya. Sebagai mantan Kepala BIN dengan hubungan mendalam dengan Megawati Soekarnoputri dan PDI-P, ia berfungsi sebagai jembatan politik krusial yang memastikan kekuatan politik besar lainnya tetap tenang.27 Kontrolnya atas jaringan intelijen dan hubungan personal yang kuat dengan Presiden Prabowo menjadikannya pilar keamanan dan stabilitas politik yang tak tergantikan.28 Ia adalah seorang Essential karena perannya sebagai broker politik unik dan penguasaannya atas jaringan keamanan-intelijen.
  • Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian): Sebagai (mantan) Ketua Umum Golkar, partai dengan perolehan kursi terbesar kedua di DPR (102 kursi), loyalitasnya menjamin dukungan blok legislatif yang masif.17 Latar belakangnya sebagai industrialis besar semakin memperkuat posisinya.33 Ia adalah seorang
    Essential karena tanpa dukungan Golkar, agenda legislatif Prabowo akan sangat rentan.
  • Erick Thohir (Menteri BUMN): Mengendalikan Kementerian BUMN berarti mengendalikan sebagian besar ekonomi nasional dan sumber utama patronase serta distribusi barang privat.35 Latar belakangnya sebagai pebisnis global dan perannya yang sentral dalam kampanye menjadikannya manajer ekonomi utama rezim.37 Ia adalah seorang Essential karena kontrolnya atas tuas-tuas ekonomi yang diperlukan untuk memberi imbalan kepada seluruh anggota koalisi lainnya.
  • Rosan Roeslani (Menteri Investasi dan Hilirisasi / Kepala Danantara): Sebagai mantan Ketua TKN 38 dan seorang figur bisnis yang sangat kuat 41, ia merepresentasikan pilar oligarki finansial yang mendukung kampanye. Jabatannya yang baru sebagai kepala badan investasi "Danantara" menempatkannya di pusat aliran modal domestik dan asing, sebuah komponen kritis dari Aturan #3 (Kuasai Aliran Pendapatan).43 Ia adalah seorang Essential yang mewakili pilar finansial koalisi.
  • Sjafrie Sjamsoeddin (Menteri Pertahanan): Sebagai sahabat lama, orang kepercayaan, dan teman seangkatan Prabowo di akademi militer, penunjukannya bukan hanya soal kompetensi, tetapi tentang kepercayaan personal yang absolut di kementerian paling krusial bagi seorang pemimpin berlatar belakang militer.45 Ia memastikan loyalitas institusi pertahanan pada level personal, menjadikannya seorang
    Essential bagi keamanan rezim.
  • Para Pembesar yang Bergantung (High-Tier Influentials):
  • Agus Harimurti Yudhoyono (Menko Infrastruktur): Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (44 kursi), ia adalah mitra koalisi yang penting.49 Namun, partainya lebih kecil dari Golkar, dan kelangsungan politiknya lebih terikat langsung pada kesuksesan Prabowo. Ia adalah seorang
    Influential yang loyalitasnya dibeli dengan posisi Menko yang signifikan, tetapi ia tidak berada pada level "tak tergantikan" seperti Airlangga.
  • Muhaimin Iskandar (Menko Pemberdayaan Masyarakat): Sebagai Ketua Umum PKB (68 kursi), ia adalah mitra koalisi vital lainnya yang direkrut pasca-pemilu.51 Pemasukannya adalah langkah strategis untuk memperluas basis koalisi. Seperti AHY, ia adalah seorang
    Influential kuat yang diberi imbalan jabatan Menko untuk mengamankan loyalitasnya dan menetralkannya sebagai figur oposisi.
  • Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan): Seorang teknokrat terkemuka dunia yang kehadirannya memberikan kredibilitas luar biasa bagi pasar internasional dan lembaga seperti Bank Dunia dan IMF.52 Namun, ia tidak memiliki basis kekuatan politik domestik. Ia melayani atas kehendak Presiden. Ia adalah contoh klasik dari seorang
    Influential bernilai tinggi, esensial karena keahlian dan reputasinya, tetapi sepenuhnya bergantung dan dapat diganti.
  • Pratikno (Menko PMK): Seorang birokrat dan akademisi yang telah lama berada di lingkaran kekuasaan sejak era Jokowi.56 Perannya adalah memastikan kontinuitas administrasi dan mengelola mesin birokrasi. Ia adalah seorang
    Influential yang kuat karena pengetahuan institusionalnya, tetapi kekuasaannya berasal dari jabatannya, bukan dari basis kekuatan independen.
  • Aparat Keamanan & Hukum (Special Category Influentials):
  • Jenderal Agus Subiyanto (Panglima TNI): Sebagai komandan angkatan bersenjata, ia secara institusional sangat kritis.59 Loyalitasnya esensial bagi kelangsungan rezim. Namun, posisinya adalah jabatan yang ditunjuk dan tunduk pada otoritas Presiden. Ia adalah seorang
    Influential tingkat tertinggi, mendekati Essential, tetapi kekuasaannya terikat pada jabatannya yang diberikan oleh pemimpin.
  • Jenderal Listyo Sigit Prabowo (KAPOLRI): Mirip dengan Panglima TNI, Kapolri adalah pilar keamanan negara yang kritis.62 Sejarahnya sebagai ajudan Presiden Jokowi menambah lapisan kompleksitas politik.63 Ia adalah seorang
    Influential tingkat atas yang kerja samanya sangat vital.
  • ST Burhanuddin (Jaksa Agung): Sebagai seorang jaksa karier 65, ia mengendalikan kekuatan penuntutan negara, sebuah alat kunci untuk memberi penghargaan kepada sekutu dan menghukum lawan. Kelanjutannya dari era Jokowi menunjukkan keinginan untuk stabilitas dalam penegakan hukum. Ia adalah seorang
    Influential kuat yang otoritasnya didelegasikan oleh Presiden.

Tabel 1: Kategorisasi Kabinet Merah Putih dalam Kerangka Teori Selectorate

No.

Nama Pejabat

Jabatan

Afiliasi

Kategori Selectorate

Justifikasi Analitis

A.

Winning Coalition (The Essentials)

1.

Budi Gunawan

Menko Polkam

Non-Partai (Intel/Polri)

Winning Coalition (Essential)

Kontrol atas intelijen, jembatan politik krusial ke PDI-P/Megawati, dan hubungan personal yang dalam dengan Presiden. Keberadaannya menstabilkan pilar keamanan dan politik secara fundamental.27

2.

Airlangga Hartarto

Menko Perekonomian

Partai Golkar

Winning Coalition (Essential)

Kontrol atas blok legislatif terbesar kedua (102 kursi), krusial untuk stabilitas kebijakan. Representasi faksi oligarki-politik yang mapan.17

3.

Erick Thohir

Menteri BUMN

Profesional/Pengusaha

Winning Coalition (Essential)

Menguasai Kementerian BUMN, pusat distribusi patronase dan sumber daya ekonomi untuk menjaga koalisi tetap solid. Representasi oligarki modern yang vital bagi rezim.35

4.

Rosan Roeslani

Menteri Investasi/Kepala Danantara

Profesional/Pengusaha

Winning Coalition (Essential)

Mantan Ketua TKN, merepresentasikan pilar finansial kampanye. Mengontrol aliran investasi domestik dan asing, kunci untuk "menguasai pendapatan" (Rule #3).40

5.

Sjafrie Sjamsoeddin

Menteri Pertahanan

Militer (Purn.)

Winning Coalition (Essential)

Sahabat dan orang kepercayaan terdekat Presiden. Menjamin loyalitas personal dari institusi pertahanan, pilar utama keamanan rezim bagi pemimpin berlatar belakang militer.45

B.

Real Selectorate (The Influentials)

6.

Agus Harimurti Yudhoyono

Menko Infrastruktur

Partai Demokrat

Real Selectorate (Influential)

Ketua Umum Partai Demokrat (44 kursi). Posisinya adalah imbalan untuk loyalitas koalisi, tetapi basis kekuatannya tidak cukup besar untuk menjadi ancaman independen.49

7.

Muhaimin Iskandar

Menko Pemberdayaan Masyarakat

PKB

Real Selectorate (Influential)

Ketua Umum PKB (68 kursi). Direkrut pasca-pemilu untuk memperluas basis dan menetralkan oposisi. Posisinya adalah hasil transaksi politik, bukan kekuatan intrinsik yang setara dengan Essentials.51

8.

Zulkifli Hasan

Menko Pangan

PAN

Real Selectorate (Influential)

Ketua Umum PAN (48 kursi). Mitra koalisi setia yang diberi mandat mengelola sektor pangan strategis, yang juga merupakan kendaraan program populis seperti MBG.68

9.

Pratikno

Menko PMK

Profesional/ Akademisi

Real Selectorate (Influential)

Teknokrat birokrasi yang memastikan kelangsungan mesin pemerintahan dari era Jokowi. Kekuasaannya bersifat institusional, bukan personal atau politik.56

10.

Yusril Ihza Mahendra

Menko Hukum, HAM, Imigrasi

PBB

Real Selectorate (Influential)

Pakar hukum tata negara yang memberikan legitimasi hukum dan keahlian teknis. Partainya kecil, sehingga ia bergantung pada keahliannya, bukan kekuatan politiknya.69

11.

Sri Mulyani Indrawati

Menteri Keuangan

Teknokrat Profesional

Real Selectorate (Influential)

Kredibilitas internasionalnya adalah aset vital, namun ia tidak memiliki basis kekuatan politik domestik. Posisinya bergantung sepenuhnya pada kepercayaan Presiden.52

12.

Jenderal TNI Agus Subiyanto

Panglima TNI

Militer (TNI)

Real Selectorate (Influential)

Memegang komando institusi bersenjata yang vital, namun posisinya adalah jabatan yang ditunjuk dan tunduk pada otoritas Presiden sebagai panglima tertinggi.59

13.

Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo

KAPOLRI

Kepolisian (Polri)

Real Selectorate (Influential)

Mengontrol aparat keamanan dalam negeri. Posisinya ditunjuk Presiden dan loyalitasnya krusial, namun kekuasaannya terikat pada jabatannya.62

14.

ST Burhanuddin

Jaksa Agung

Profesional/Jaksa Karier

Real Selectorate (Influential)

Menguasai aparat penuntutan. Sebagai seorang profesional karier, ia adalah pelaksana kebijakan hukum Presiden, bukan pembuat keputusan politik independen.65

15.

Fadli Zon

Menteri Kebudayaan

Partai Gerindra

Real Selectorate (Influential)

Loyalis lama dari partai Presiden sendiri. Posisinya adalah hadiah untuk kesetiaan jangka panjang, bukan karena basis kekuatan independen yang dapat mengancam pemimpin.72

16.

Anggota Kabinet Lainnya (Partai Politik & Profesional)

Berbagai Jabatan Menteri

Berbagai Afiliasi

Real Selectorate (Influential)

Sebagian besar menteri lain, baik dari partai maupun kalangan profesional, masuk dalam kategori ini. Mereka diangkat untuk memenuhi kuota koalisi, memberikan keahlian teknis, atau sebagai imbalan atas dukungan, dan bergantung pada Presiden untuk posisi mereka.72


4. Harta Rampasan Kemenangan: Distribusi Imbalan di Era Prabowo

Pemerintahan Prabowo Subianto secara sistematis menggunakan sumber daya negara untuk memberi imbalan kepada Winning Coalition-nya, sebuah praktik yang sejalan dengan prediksi Teori Selectorate. Distribusi ini dilakukan melalui alokasi barang privat yang kasat mata dan penggunaan barang publik sebagai instrumen ganda untuk meraih simpati rakyat sekaligus memperkaya elite pendukung.

Barang Privat sebagai Mata Uang Utama: Portofolio, BUMN, dan Proyek

Mekanisme utama dalam memberi imbalan kepada para Essentials dan Influentials adalah melalui distribusi barang privat yang bernilai tinggi:

  • Portofolio Kementerian: Pembagian 48 kursi menteri dan puluhan kursi wakil menteri adalah bentuk paling nyata dari distribusi barang privat.26 Setiap kementerian membawa anggaran, otoritas kebijakan, dan peluang patronase yang luas, yang dapat dimanfaatkan oleh partai politik atau kelompok pendukung yang mengendalikannya.
  • Kontrol atas BUMN: Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dipimpin oleh seorang Essential seperti Erick Thohir, berfungsi sebagai pusat saraf distribusi imbalan.37 BUMN menguasai sektor-sektor strategis ekonomi Indonesia, dan posisi direksi, komisaris, serta proyek-proyek dan anggaran pengadaan mereka merupakan aset berharga yang dialokasikan untuk memperkuat loyalitas koalisi.35
  • Proyek Strategis Nasional (PSN): Daftar 77 PSN untuk periode 2025-2029 merepresentasikan kumpulan kontrak senilai ribuan triliun rupiah.77 Alokasi proyek-proyek ini—mulai dari infrastruktur, energi, hingga kawasan industri—menjadi mekanisme utama untuk memberi imbalan kepada jaringan bisnis yang terhubung dengan Winning Coalition.

Barang Publik sebagai Instrumen Ganda: Pengambilan Hati dan Pengayaan Diri

Kebijakan-kebijakan andalan pemerintahan Prabowo harus dianalisis melalui lensa ganda: sebagai barang publik yang ditujukan untuk masyarakat luas (Nominal Selectorate) dan sebagai kendaraan untuk menyalurkan barang privat kepada elite. Seorang pemimpin yang cerdas akan merancang program yang populer di mata publik sekaligus menguntungkan para pendukung esensialnya.

  • Studi Kasus 1: Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Di permukaan, ini adalah program gizi untuk mengatasi stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebuah barang publik yang sangat populer.79 Namun di balik itu, dengan anggaran awal sebesar Rp 71 triliun, MBG adalah sebuah mega proyek pengadaan dan logistik nasional. Program ini menciptakan peluang kontrak yang sangat besar dalam penyediaan bahan pangan, pengolahan, dan distribusi, yang dapat diarahkan kepada perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan koalisi.81 Penunjukan Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN) sebagai Menko Pangan yang mengkoordinasikan kementerian terkait pangan menegaskan betapa strategisnya sektor ini secara politik.81
  • Studi Kasus 2: Ibu Kota Nusantara (IKN): Secara publik, IKN adalah proyek warisan kebanggaan nasional yang bertujuan menciptakan pemerataan pembangunan. Namun secara privat, anggaran pembangunannya yang masif—Rp 13,5 triliun untuk tahun 2025 saja—menyediakan ladang kontrak konstruksi dan jasa yang sangat luas.82 Penempatan AHY (Ketua Umum Partai Demokrat) sebagai Menko Infrastruktur adalah contoh jelas bagaimana domain yang kaya sumber daya ini dialokasikan kepada mitra koalisi kunci.85
  • Studi Kasus 3: Food Estate: Program ini, yang dibenarkan dengan tujuan mencapai swasembada pangan, melibatkan konversi lahan skala besar dan pengembangan agribisnis.87 Namun, program ini telah menuai kritik karena dampak lingkungannya dan karena dinilai lebih menguntungkan korporasi besar daripada petani kecil.88 Ini adalah contoh bagaimana sebuah "barang publik" pada praktiknya dapat lebih melayani kepentingan privat dari agribisnis yang memiliki koneksi politik.

Menguasai Aliran Pendapatan

Aturan #3 dari The Dictator's Handbook adalah "Kuasai aliran pendapatan." Di era modern, ini berarti mengontrol institusi-institusi finansial dan investasi negara. Pemerintahan Prabowo menempatkan tokoh-tokoh kunci di posisi ini:

  • Kementerian Keuangan: Dipertahankannya Sri Mulyani, seorang teknokrat Influential yang dihormati secara internasional, adalah langkah strategis untuk menjamin stabilitas makroekonomi dan kepercayaan investor. Ini memastikan bahwa aliran pendapatan negara—baik dari pajak maupun utang—tetap lancar dan terjamin.52
  • Kementerian Investasi dan Danantara: Penunjukan Rosan Roeslani, seorang Essential dari lingkaran dalam, untuk memimpin Kementerian Investasi sekaligus badan pengelola investasi baru "Danantara" memberikan kontrol langsung kepada loyalis inti atas masuk dan alokasinya modal besar, baik domestik maupun asing. Ini adalah tuas kekuasaan yang sangat penting untuk mendanai proyek-proyek rezim dan memberi imbalan kepada pendukung.43

5. Analisis Paralel: Sang Raja Matahari dan Sang Jenderal - Versailles ala Prabowo

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang mekanisme kekuasaan yang diterapkan oleh pemerintahan Prabowo, sebuah analisis paralel dengan sistem politik Raja Louis XIV dari Prancis menawarkan perspektif yang mencerahkan. Perbandingan ini bukanlah sekadar analogi historis, melainkan perbandingan fungsional mengenai strategi manajemen elite untuk memusatkan dan mempertahankan kekuasaan.

Menjinakkan Aristokrasi: Dari Bangsawan Prancis ke Elite Politik Indonesia

Tantangan utama yang dihadapi Louis XIV pada awal pemerintahannya adalah kaum bangsawan Prancis yang kuat dan semi-independen, yang memiliki sejarah panjang pemberontakan (dikenal sebagai Fronde) terhadap otoritas kerajaan.90 Mereka memiliki tanah, tentara, dan pengaruh regional yang dapat mengancam takhta.

Secara fungsional, tantangan yang dihadapi Presiden Prabowo serupa. Ia berhadapan dengan Real Selectorate yang terdiri dari para ketua umum partai politik dan oligark yang memiliki basis kekuatan independen. Para ketua umum partai mengendalikan "pasukan" elektoral dan blok legislatif, sementara para oligark menguasai modal dan kerajaan bisnis yang masif. Keduanya memiliki sejarah membentuk dan membubarkan aliansi politik demi kepentingan mereka sendiri. Kedua pemimpin ini menghadapi ancaman yang sama: sebuah kelas elite yang berpotensi tidak loyal dan mampu menantang kekuasaan mereka.

Kabinet sebagai Kandang Emas: Versailles Modern

Strategi jenius Louis XIV untuk mengatasi ancaman dari kaum bangsawan adalah dengan membangun Istana Versailles dan memaksa para bangsawan tinggi untuk tinggal di sana.90 Versailles bukanlah penjara fisik, melainkan sebuah "kandang emas" (gilded cage). Di sana, para bangsawan tercerabut dari basis kekuatan regional mereka (tanah dan pengikut). Kehidupan mereka di istana penuh dengan kemewahan, pesta, dan intrik, namun status, pendapatan, dan jabatan mereka sepenuhnya bergantung pada kemurahan hati Raja. Versailles adalah mekanisme untuk mengubah rival potensial menjadi abdi dalem yang bergantung.90

Kabinet super-gemuk Prabowo berfungsi dengan logika yang sama. Dengan membawa hampir semua pemimpin partai ke dalam pemerintahan, ia secara efektif memindahkan mereka dari "luar istana" (oposisi), tempat di mana mereka bisa mengonsolidasikan kekuatan untuk melawannya, ke "dalam istana" (kabinet).11 Kehidupan di dalam kabinet sangat menguntungkan; memberikan akses terhadap sumber daya negara, pengaruh kebijakan, dan prestise publik. Sebaliknya, berada di luar sebagai oposisi yang kecil berarti terisolasi dan kelaparan sumber daya. Para pemimpin partai didorong untuk bergabung demi mendapatkan barang privat yang didistribusikan melalui jabatan menteri. Begitu berada di dalam, kinerja dan loyalitas mereka berada di bawah pengawasan langsung Presiden. Seperti para bangsawan di Versailles, kelangsungan hidup politik dan finansial mereka menjadi bergantung pada kemampuan mereka untuk tetap berada dalam lingkaran kekuasaan pemimpin.

Tontonan Kekuasaan: Ritual Istana dan Seremoni Politik

Louis XIV menciptakan ritual istana yang rumit dan dipentaskan secara publik (seperti lever dan coucher—ritual bangun dan tidur raja) yang memusatkan semua perhatian pada dirinya. Ia adalah "Raja Matahari" (le Roi Soleil), sumber dari segala cahaya dan kemurahan.92 Kehadiran dalam ritual ini adalah tanda status, sementara ketidakhadiran adalah tanda aib dan hilangnya dukungan raja.90

Padanan modern dari ritual ini dapat dilihat dalam seremoni politik kontemporer. Rapat kabinet paripurna yang dipimpin langsung oleh Presiden, konferensi pers bersama yang menampilkan persatuan para pemimpin koalisi, arahan presiden dalam acara-acara publik, dan kunjungan kerja bersama adalah bentuk-bentuk seremoni yang terus-menerus memperkuat peran sentral Presiden sebagai pemimpin tertinggi dan penentu arah bangsa.93 Peristiwa-peristiwa ini adalah panggung untuk menampilkan harmoni dan menegaskan siapa yang menjadi pusat dari segala kekuasaan.

Kontrol Absolut atas Patronase

Louis XIV memegang kendali penuh atas semua penunjukan jabatan, pensiun, dan hak-hak istimewa, yang ia bagikan kepada para bangsawan yang loyal di Versailles.90 Presiden Prabowo, sebagai kepala pemerintahan dalam sistem presidensial, memegang hak prerogatif penuh atas alokasi kursi menteri, wakil menteri, jabatan direksi di BUMN, dan arah kebijakan Proyek Strategis Nasional. Ini adalah mata uang modern dari kemurahan hati seorang penguasa, yang digunakan untuk memastikan loyalitas berkelanjutan dari Winning Coalition.


6. Ketegangan dalam Koalisi: Risiko, Stabilitas, dan Prospek ke Depan

Meskipun strategi koalisi akbar efektif untuk menetralkan oposisi eksternal dan menjamin stabilitas jangka pendek, ia juga mengandung benih-benih kerentanan dan potensi instabilitas di masa depan. Analisis ini akan menguji risiko-risiko tersebut dengan menerapkan prediksi teoritis pada realitas politik saat ini.

Paradoks Norma Loyalitas: Instabilitas Koalisi Besar

Seperti yang telah dijelaskan, Teori Selectorate menyatakan bahwa koalisi yang sangat besar dapat menjadi kurang stabil karena biaya pembelotan bagi anggotanya menjadi lebih rendah.1 Ketika hampir semua aktor kuat berada di dalam pemerintahan, mereka mungkin merasa lebih aman dan tak tergantikan, sehingga lebih berani untuk bermanuver demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Koalisi Prabowo, dengan menetralkan ancaman dari luar, justru berisiko memupuk persaingan internal.10 Dengan begitu banyak pemain kuat—seperti Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, dan Demokrat—berada di dalam "kandang" yang sama, risiko utamanya bukanlah kudeta dari luar, melainkan pergeseran aliansi di dalam. Kabinet itu sendiri berpotensi menjadi medan pertempuran politik di masa depan. Siklus pemilihan umum 2029 akan dimulai dari dalam kabinet. Para menteri yang juga merupakan pemimpin partai (seperti AHY, Muhaimin, dan ketua umum Golkar berikutnya) secara rasional akan menggunakan kontrol mereka atas sumber daya kementerian untuk membangun modal politik pribadi dan partai mereka. Hal ini dapat memicu persaingan antar kementerian, perebutan yurisdiksi dan anggaran, serta penggunaan "keberhasilan" kebijakan untuk pencitraan partisan, yang semuanya merupakan risiko signifikan bagi soliditas koalisi dalam jangka panjang.95

Bayang-Bayang Pendahulu: Menilai Pengaruh Berkelanjutan Joko Widodo

Dukungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah faktor krusial dalam kemenangan Prabowo, dan putranya kini menjabat sebagai Wakil Presiden.21 Banyak menteri kunci dari era Jokowi (seperti Pratikno, Sri Mulyani, Budi Gunadi Sadikin) dan kebijakan andalannya (IKN, hilirisasi) tetap dipertahankan.22

Hal ini memunculkan pertanyaan fundamental: apakah Jokowi adalah bagian dari Winning Coalition Prabowo, atau ia adalah pemimpin dari faksi kuat yang terpisah di dalam Real Selectorate? Pengaruhnya yang berkelanjutan atas sebagian anggota kabinet dan popularitasnya yang masih tinggi di mata publik dapat menciptakan dinamika kekuasaan ganda. Tantangan utama bagi Presiden Prabowo adalah mengelola hubungan ini—secara bertahap menegaskan otoritasnya sendiri tanpa mengasingkan jaringan kuat yang loyal kepada pendahulunya. Setiap langkah yang dianggap meremehkan atau menggeser pengaruh Jokowi dapat memicu penarikan dukungan dari "faksi Jokowi," yang akan menciptakan instabilitas politik yang signifikan.

Sorotan Internasional dan Implikasi Geopolitik

Komposisi Winning Coalition juga mengirimkan sinyal kuat ke dunia internasional. Penunjukan figur-figur seperti Sjafrie Sjamsoeddin, yang di masa lalu pernah menghadapi sorotan dari Amerika Serikat dan kelompok-kelompok hak asasi manusia terkait dugaan perannya di Timor-Timur dan Jakarta, dapat mempersulit hubungan pertahanan, terutama dengan negara-negara Barat.97 Di sisi lain, dipertahankannya teknokrat seperti Sri Mulyani dirancang untuk menenangkan pasar keuangan global dan lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia.54

Kabinet adalah sebuah pesan kebijakan luar negeri. Pilihan para menteri menandakan prioritas dan nilai-nilai sebuah rezim. Pemerintahan Prabowo tampaknya akan melakukan penyeimbangan yang rumit. Penunjukan tokoh-tokoh keamanan dari "garda lama" mungkin diperlukan untuk stabilitas domestik dan loyalitas internal, namun bisa jadi harus dibayar dengan friksi internasional. Sementara itu, keterlibatan aktif dengan Tiongkok melalui mekanisme baru seperti dialog 2+2 102 menandakan kebijakan luar negeri yang pragmatis dan multi-arah, sebuah langkah yang akan diawasi dengan cermat oleh Amerika Serikat dan sekutunya.


7. Kesimpulan: Sebuah Republik Transaksional

Analisis terhadap pemerintahan Prabowo Subianto melalui lensa Teori Selectorate menunjukkan sebuah struktur kekuasaan yang beroperasi sebagai entitas yang sangat rasional, di mana tujuan utamanya adalah kelangsungan politik. Strategi yang dijalankan konsisten dengan prediksi teori: memaksimalkan stabilitas dengan mengamankan loyalitas elite melalui distribusi imbalan yang terkontrol.

Pembentukan "kabinet gemuk" dan penekanan pada proyek-proyek skala besar bukanlah tanda kelemahan atau inefisiensi. Sebaliknya, keduanya adalah mekanisme inti dari sebuah sistem yang dibangun di atas fondasi kooptasi elite politik. Kabinet yang besar adalah alat untuk mendistribusikan barang privat (jabatan dan sumber daya) kepada Winning Coalition yang terdiri dari para pemimpin partai dan oligark, sehingga loyalitas mereka dapat dipastikan.

Paralel dengan absolutisme Louis XIV bukan sekadar kiasan sejarah, melainkan sebuah perbandingan fungsional yang relevan. Kedua sistem ini bergantung pada penciptaan sebuah "kandang emas"—Istana Versailles bagi Louis XIV, dan Kabinet Merah Putih bagi Prabowo—untuk memusatkan kekuasaan, menetralkan lawan, dan membuat kelas elite sepenuhnya bergantung pada patronase sang pemimpin.

Prospek jangka panjang bagi demokrasi Indonesia di bawah model ini adalah potensi erosi fungsi pengawasan dan keseimbangan (checks and balances), karena oposisi dibuat hampir tidak berdaya.11 Stabilitas jangka pendek yang mungkin tercapai harus dibayar dengan menurunnya akuntabilitas pemerintah. Lebih jauh, sistem ini menciptakan risiko persaingan internal yang mendalam di antara para elite kuat di dalam koalisi itu sendiri, yang dapat meletus di masa depan. Pada akhirnya, sistem ini dirancang untuk kelangsungan hidup pemimpin, yang tidak selalu identik dengan kemajuan cita-cita demokrasi. Pemerintahan ini, pada intinya, adalah sebuah republik yang berjalan di atas logika transaksional.


Sign in to leave a comment