Skip to Content

KRISIS LISTRIK TERSEMBUNYI DI MALUKU

DASBOR INTERAKTIF   Unduh versi PDF  Unduh Daftar Pustaka

Defisit Akses Ketenagalistrikan dan Peta Jalan Energi Berkeadilan di Provinsi Maluku

Ringkasan Eksekutif

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai kondisi ketenagalistrikan di Provinsi Maluku, sebuah wilayah dengan tantangan geografis unik yang berdampak langsung pada pemerataan akses energi. Analisis ini mengidentifikasi adanya krisis ganda dalam sektor elektrifikasi provinsi ini. Di satu sisi, data hingga tahun 2024-2025 menunjukkan masih terdapat sekitar 136 hingga 205 desa yang sama sekali belum tersentuh jaringan listrik dari PT PLN (Persero).1 Di sisi lain, terdapat krisis tersembunyi yang lebih besar, di mana 505 desa lainnya mengalami kondisi "miskin energi" atau under-electrified, dengan pasokan listrik yang hanya menyala selama 12 jam per hari atau bahkan kurang, dengan rincian 305 desa hanya menikmati listrik selama 6 jam dan 200 desa selama 12 jam.3

Kondisi ini menciptakan sebuah paradoks. Ketergantungan Maluku pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang berbiaya operasional tinggi dan berdampak pada lingkungan untuk melistriki daerah-daerah terpencilnya sangat kontras dengan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang dimilikinya. Potensi EBT di wilayah Maluku dan Maluku Utara diperkirakan mencapai lebih dari 738 gigawatt (GW), yang sebagian besar berasal dari energi surya (721 GW), sebuah kapasitas berskala dunia yang belum dimanfaatkan secara optimal.4

Upaya percepatan elektrifikasi terhambat oleh serangkaian tantangan multidimensional. Selain kendala geografis dan logistik yang inheren dalam sebuah provinsi kepulauan, terdapat pula hambatan non-teknis yang signifikan. Ini mencakup kesenjangan koordinasi antar-lembaga pemerintah, proses pembebasan lahan yang kompleks dan seringkali menimbulkan sengketa, serta berbagai tantangan sosial di tingkat komunitas yang dapat menunda atau bahkan menghentikan proyek.1

Untuk mencapai target elektrifikasi 100% dan mewujudkan keadilan energi, laporan ini menyimpulkan bahwa Maluku memerlukan sebuah pivot strategis. Model yang berpusat pada perluasan jaringan (grid extension) semata tidak lagi memadai. Diperlukan sebuah pendekatan hibrida yang memprioritaskan solusi energi terdesentralisasi berbasis EBT, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dalam skema off-grid dan mini-grid. Pendekatan ini harus didukung oleh inovasi teknologi seperti Alat Penyalur Daya Listrik (APDAL) dan diperkuat oleh penyelarasan kebijakan yang lebih solid antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Bagian 1: Dimensi Krisis Elektrifikasi di Provinsi Maluku: Melampaui Angka Rasio

Untuk memahami skala sebenarnya dari tantangan energi di Maluku, diperlukan dekonstruksi terhadap data statistik resmi. Angka agregat seringkali menyembunyikan disparitas yang tajam di tingkat akar rumput, di mana realitas akses listrik bagi masyarakat jauh lebih kompleks daripada yang tersaji dalam persentase nasional.

1.1 Ilusi Rasio Elektrifikasi: Analisis Kritis terhadap Data Agregat

Data resmi pemerintah menunjukkan capaian yang tampak mengesankan. Per September 2024, rasio elektrifikasi Provinsi Maluku dilaporkan mencapai 97,59%.8 Angka serupa juga dilaporkan oleh PT PLN (Persero) pada Maret 2024, yang menyebutkan rasio elektrifikasi di Maluku berada di angka 96%.1 Meskipun angka ini secara permukaan terlihat positif, ia menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "ilusi rasio". Metrik ini, yang dihitung berdasarkan jumlah rumah tangga yang tersambung listrik dibagi total rumah tangga, gagal menangkap dua aspek krusial: kualitas dan durasi pasokan listrik.

Sebuah desa yang hanya menerima listrik selama enam jam sehari secara statistik tetap dihitung sebagai desa "berlistrik". Hal ini menciptakan kesenjangan yang signifikan antara capaian statistik dan realitas yang dialami masyarakat. Kualitas hidup, peluang ekonomi, dan akses terhadap pendidikan dan informasi di desa dengan listrik 24 jam sangat berbeda dengan desa yang listriknya padam selama 18 jam setiap hari. Selain itu, terdapat pula inkonsistensi data yang dilaporkan, di mana seorang anggota legislatif pernah mengutip adanya perbedaan data antara Dinas ESDM (94%) dan PLN (90%), yang menunjukkan perlunya sebuah basis data tunggal yang terverifikasi untuk pengambilan kebijakan yang efektif.9

1.2 Zona Gelap: Kuantifikasi Desa Tanpa Akses Listrik PLN (Zero Electrification)

Di balik angka rasio yang tinggi, masih ada wilayah-wilayah yang berada dalam kondisi gelap gulita total, tanpa akses sama sekali ke jaringan listrik PLN. Jumlah desa dalam kategori ini menunjukkan dinamika yang menarik. Data dari berbagai sumber dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren penurunan: dari 288 desa pada tahun 2022 10, menjadi 205 desa pada Februari-Maret 2024 1, 185 desa pada November 2024 15, dan data terbaru yang mengindikasikan angka 136 desa.2

Tren penurunan ini secara positif mencerminkan adanya progres nyata dari program pemerintah dan PLN, terutama melalui Program Listrik Desa (Lisdes). Namun, keberadaan angka yang berbeda-beda dalam periode yang berdekatan juga mengindikasikan adanya tantangan dalam sinkronisasi dan pemutakhiran data antara laporan operasional PLN, pernyataan resmi Kementerian ESDM, dan diseminasi informasi di tingkat lokal. Perbedaan basis data ini berpotensi mempersulit alokasi sumber daya dan perencanaan strategis. Untuk tujuan analisis ini, rentang 136 hingga 205 desa dianggap sebagai estimasi paling kredibel untuk jumlah desa yang sama sekali belum teraliri listrik PLN per 2024-2025.

1.3 Krisis Tersembunyi: Desa dengan Listrik Terbatas (Kurang dari 12 Jam)

Permasalahan elektrifikasi di Maluku yang paling signifikan namun seringkali luput dari perhatian adalah jumlah desa yang sudah teraliri listrik namun dengan durasi yang sangat terbatas. Data yang diungkapkan oleh Menteri ESDM pada Desember 2024 menjadi titik krusial dalam analisis ini. Terdapat total 505 desa di Maluku yang belum menikmati listrik selama 24 jam penuh.3

Rincian dari angka ini sangatlah penting untuk dipahami:

  • 305 desa hanya teraliri listrik selama 6 jam per hari.
  • 200 desa teraliri listrik selama 12 jam per hari.

Data ini secara fundamental mengubah kerangka masalah. Jumlah desa yang "miskin energi" atau under-electrified (505 desa) jauh melampaui jumlah desa yang sama sekali belum berlistrik (sekitar 136-205 desa). Ini berarti tantangan kebijakan bukan hanya sekadar menyambungkan beberapa desa terakhir ke jaringan, melainkan melakukan peningkatan masif terhadap infrastruktur yang sudah ada namun tidak memadai. Arahan Menteri ESDM untuk secara bertahap meningkatkan durasi dari 6 jam menjadi 12 jam, dan dari 12 jam menjadi 24 jam, memberikan arah kebijakan yang jelas untuk mengatasi krisis tersembunyi ini.3

Bagian 2: Inventarisasi dan Pemetaan Strategis Desa dengan Defisit Listrik

Untuk merumuskan intervensi yang efektif, diperlukan pemetaan yang tidak hanya mencantumkan nama desa, tetapi juga menganalisis tantangan spesifik dan potensi yang ada di setiap lokasi. Tabel berikut ini berfungsi sebagai alat perencanaan strategis untuk mengidentifikasi solusi yang paling sesuai bagi desa-desa dengan defisit listrik.

2.1 Metodologi Penyusunan Tabel

Tabel ini merupakan hasil konsolidasi data dari berbagai sumber, terutama laporan berita yang mengutip pejabat PLN dan pemerintah, serta data dari kementerian terkait.1 Perlu dicatat bahwa daftar publik yang komprehensif dan terverifikasi oleh pemerintah untuk setiap dusun atau desa yang belum teraliri listrik tidak tersedia dalam materi riset yang diakses. Oleh karena itu, tabel ini menyajikan contoh-contoh spesifik yang ditemukan dalam sumber-sumber tersebut untuk mengilustrasikan sebaran masalah di berbagai kabupaten. Tabel ini bertujuan untuk menjadi model analisis, bukan daftar lengkap dari seluruh 136-205 desa yang belum teraliri listrik atau 505 desa yang teraliri listrik secara terbatas. Parameter tambahan seperti potensi EBT lokal dan tantangan utama disertakan untuk mengubah data mentah menjadi informasi yang dapat ditindaklanjuti.

2.2 Tabel Utama: Inventarisasi Desa/Dusun Belum Teraliri Listrik dan Teraliri di Bawah 12 Jam di Provinsi Maluku

Kabupaten/ Kota

Kecamatan

Nama Desa/ Dusun

Status Elektrifikasi

Sumber Listrik Saat Ini

Potensi Sumber Energi Terbarukan (EBT) Lokal

Tantangan Utama

Keterangan & Data Pendukung

Seram Bagian Barat

Elpaputih

Desa Abio

Listrik < 12 Jam / Genset Swadaya

Genset Swadaya/Non-PLN

Surya (Tinggi), Mikrohidro (Potensial di Kali Nui)

Akses Infrastruktur Jalan/Jembatan (Sangat Sulit), Geografis (Pegunungan, Sungai)

800 penduduk. Akses via ojek 6 jam & rakit. Belum ada sekolah memadai.18

Seram Bagian Barat

Elpaputih

Desa Huku Kecil

Listrik < 12 Jam / Genset Swadaya

Genset Swadaya/Non-PLN

Surya (Tinggi)

Akses Infrastruktur Jalan/Jembatan (Sangat Sulit), Geografis (Pegunungan, Sungai)

400 penduduk. Mengalami kondisi serupa dengan Desa Abio.18

Seram Bagian Timur

Wakate

Desa Effa

Belum Teraliri

Belum Ada

Surya (Tinggi), Angin (Potensial)

Geografis (Pulau Terpencil), Logistik

Proyek PLN pernah masuk namun terhenti. Tiang listrik sudah berkarat.17

Seram Bagian Timur

Wakate

Desa Lehema

Belum Teraliri

Belum Ada

Surya (Tinggi), Angin (Potensial)

Geografis (Pulau Terpencil), Logistik

Bagian dari 3 desa di Kec. Wakate yang belum berlistrik.17

Seram Bagian Timur

Wakate

Desa Ilily

Belum Teraliri

Belum Ada

Surya (Tinggi), Angin (Potensial)

Geografis (Pulau Terpencil), Logistik

Bagian dari 3 desa di Kec. Wakate yang belum berlistrik.17

Seram Bagian Timur

-

Kampung Bati Kelusi

Belum Teraliri

Belum Ada

Surya (Tinggi)

Geografis (Pedalaman), Akses Sulit

Desa tetangga, Artafella, hanya menikmati listrik 12 jam.21

Kepulauan Aru

Aru Utara

Desa Lor-Lor

Baru Teraliri (Program Lisdes)

PLTD

Surya (Tinggi), Arus Laut (Potensial)

Geografis (Pulau Terluar), Logistik Laut

Bagian dari 6 desa sasaran program Lisdes.16 Rasio elektrifikasi Aru masih sangat rendah.22

Kepulauan Aru

Aru Utara

Desa Koijabi

Baru Teraliri (Program Lisdes)

PLTD

Surya (Tinggi), Arus Laut (Potensial)

Geografis (Pulau Terluar), Logistik Laut

Bagian dari 6 desa sasaran program Lisdes.16

Kepulauan Aru

Aru Utara

Desa Marlasi

Baru Teraliri (Program Lisdes)

PLTD

Surya (Tinggi), Arus Laut (Potensial)

Geografis (Pulau Terluar), Logistik Laut

Bagian dari 6 desa sasaran program Lisdes.16

Maluku Barat Daya

(Berbagai)

(Sebagian besar desa)

Belum Teraliri / < 24 Jam

PLTD (terbatas)

Surya (Tinggi), Angin (Potensial)

Geografis (Sangat Terpencil, Kepulauan), Anggaran, Akses Jalan

Target 100% elektrifikasi baru pada 2029. Membutuhkan dukungan Pemda untuk biaya sambungan baru.23

Buru Selatan

(Berbagai)

(Beberapa desa)

Belum Teraliri

Belum Ada

Surya (Tinggi), Panas Bumi (Potensial)

Kendala Sosial (Warga enggan pohon produktif ditebang untuk jaringan)

Isu sosial menjadi penghambat utama meskipun PLN siap menyalurkan listrik.6

(Seluruh Provinsi)

(Berbagai)

(305 Desa)

Listrik 6 Jam

PLTD/PLTS (Kapasitas Rendah)

(Bervariasi)

Kapasitas Pembangkit & Penyimpanan Energi Rendah

Target upgrade menjadi 12 jam.3

(Seluruh Provinsi)

(Berbagai)

(200 Desa)

Listrik 12 Jam

PLTD/PLTS (Kapasitas Sedang)

(Bervariasi)

Kapasitas Pembangkit & Penyimpanan Energi Rendah

Target upgrade menjadi 24 jam.3

Bagian 3: Analisis Akar Masalah: Tantangan Struktural Elektrifikasi di Maluku

Keberhasilan program elektrifikasi di Maluku tidak hanya bergantung pada ketersediaan anggaran dan teknologi, tetapi juga pada kemampuan untuk mengatasi serangkaian tantangan struktural yang kompleks dan saling terkait. Akar masalah ini dapat dikategorikan ke dalam hambatan fisik, institusional, dan sosial-ekonomi.

3.1 Hambatan Fisik: Geografi Arkipelago dan Defisit Infrastruktur

Karakteristik geografis Provinsi Maluku sebagai negara kepulauan menjadi tantangan fundamental. Provinsi ini terdiri dari 1.340 pulau, dengan 120 di antaranya berpenghuni.1 Desa-desa yang belum teraliri listrik tersebar di 47 pulau yang berbeda, seringkali di lokasi yang sangat terpencil dan sulit dijangkau. Kondisi ini diperparah oleh defisit infrastruktur dasar yang parah.

Banyak desa, seperti yang dilaporkan di berbagai kabupaten, tidak memiliki akses jalan dan jembatan yang memadai. Hal ini memaksa PLN untuk menghadapi tantangan logistik yang ekstrem. Dalam beberapa kasus, PLN harus merintis jalan sendiri atau menggunakan metode berisiko tinggi seperti mengangkut tiang listrik dan mesin pembangkit dengan rakit untuk menyeberangi sungai atau mencapai pesisir.1 Ketiadaan infrastruktur jalan tidak hanya meningkatkan biaya proyek secara eksponensial tetapi juga memperlambat waktu pengerjaan. Ini menciptakan sebuah lingkaran setan: ketiadaan jalan menghambat pembangunan jaringan listrik, dan ketiadaan listrik menghambat pembangunan ekonomi yang seharusnya dapat mendanai infrastruktur jalan. Oleh karena itu, strategi elektrifikasi yang berhasil harus diintegrasikan secara erat dengan rencana pembangunan infrastruktur yang lebih luas yang dikoordinasikan oleh pemerintah daerah.

3.2 Hambatan Institusional dan Regulasi

Selain tantangan fisik, terdapat pula hambatan institusional yang signifikan, terutama terkait perizinan dan tata guna lahan. Salah satu contoh paling jelas adalah konflik antara mandat pembangunan dan konservasi. Pembangunan jaringan listrik untuk melayani masyarakat seringkali harus melewati kawasan yang dilindungi oleh hukum, seperti hutan lindung atau taman nasional.

Kasus pembangunan jaringan Wahai-Kobisonta di Maluku Tengah adalah contoh nyata. Proyek ini sempat tertunda karena jalurnya harus melintasi area Taman Nasional Manusela, yang memerlukan proses koordinasi dan perizinan khusus yang panjang dengan Balai Taman Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.1 Kejadian ini menyoroti adanya potensi konflik antara mandat Kementerian ESDM dan PLN untuk menyediakan akses energi universal dengan mandat Kementerian LHK untuk melindungi kawasan konservasi. Penyelesaian konflik semacam ini seringkali berjalan lambat dan birokratis, yang pada akhirnya menunda hak masyarakat untuk mendapatkan listrik.

3.3 Hambatan Sosial-Ekonomi di Tingkat Komunitas

Lapisan tantangan terakhir, yang seringkali menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan proyek di "mil terakhir", adalah faktor sosial-ekonomi di tingkat komunitas. Bahkan ketika dana telah tersedia, desain teknis sudah matang, dan perizinan telah diperoleh, proyek masih bisa terhenti akibat dinamika lokal.

Di Kabupaten Buru Selatan, misalnya, dilaporkan bahwa penyalaan listrik terhambat karena warga enggan tanaman produktif mereka, seperti cengkeh atau pala, ditebang untuk memberikan jalan bagi pembangunan jaringan listrik.6 Penolakan ini bukanlah tindakan irasional, melainkan sebuah kalkulasi ekonomi dari rumah tangga yang mata pencahariannya bergantung pada tanaman tersebut. Di sisi lain, proyek strategis seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Tulehu juga menghadapi kendala serius akibat sengketa pembebasan lahan yang kompleks antar keluarga dan ahli waris.7

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa pendekatan teknokratis dari atas ke bawah (top-down) tidaklah cukup. Diperlukan proses sosialisasi yang intensif, negosiasi yang adil, dan mekanisme kompensasi yang tidak hanya mengganti rugi nilai tanah, tetapi juga potensi kehilangan pendapatan di masa depan. Peran pemerintah daerah menjadi sangat krusial dalam memediasi dan memfasilitasi proses ini, karena mereka memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai konteks sosial dan budaya setempat.25

Bagian 4: Paradoks Energi Maluku: Ketergantungan Diesel di Tengah Kelimpahan Energi Terbarukan

Situasi energi di Maluku menghadirkan sebuah paradoks yang tajam: provinsi ini sangat bergantung pada sumber energi fosil yang mahal dan tidak efisien untuk wilayah terpencilnya, sementara pada saat yang sama memiliki cadangan potensi energi terbarukan yang sangat besar dan belum tersentuh. Memahami dan mengatasi paradoks ini adalah kunci untuk mencapai kemandirian dan keadilan energi.

4.1 Tulang Punggung yang Mahal: Peran dan Rencana Substitusi PLTD

Di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) Maluku, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) telah lama menjadi tulang punggung penyediaan listrik. PLN secara rutin mengirimkan mesin-mesin PLTD baru untuk program listrik desa, seperti yang dilakukan di Pulau Matakus di Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan peresmian PLTD Kilmury untuk melayani masyarakat.27 Meskipun vital, ketergantungan pada PLTD memiliki kelemahan besar. Biaya logistik untuk mengangkut bahan bakar solar ke pulau-pulau terpencil sangat tinggi, membuat biaya operasional per kWh menjadi sangat mahal dan membebani subsidi energi nasional.

Menyadari hal ini, PLN telah meluncurkan program strategis yang dikenal sebagai "dedieselization", yaitu konversi PLTD menjadi pembangkit yang berbasis EBT. Untuk wilayah Maluku dan Maluku Utara, program ini menargetkan konversi 38 PLTD menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan total kapasitas 65.6 MWp, yang ditargetkan rampung pada 2024.30 Langkah ini bukan hanya inisiatif "hijau", tetapi juga sebuah keharusan dari sisi fiskal. Dengan beralih ke PLTS, yang biaya operasionalnya jauh lebih rendah setelah investasi awal, PLN dapat mengurangi ketergantungan pada BBM bersubsidi dan mengalihkan dana yang dihemat untuk mempercepat program elektrifikasi di wilayah lain.

4.2 Peta Jalan Menuju Kemandirian Energi: Potensi EBT yang Luar Biasa

Potensi energi terbarukan di Maluku sangat luar biasa dan termasuk salah satu yang terbesar di Indonesia. Studi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa wilayah Maluku dan Maluku Utara memiliki potensi EBT gabungan mencapai 738 GW.4 Rincian potensi tersebut adalah sebagai berikut:

  • Energi Surya: Potensi teknis mencapai 721 GW, yang merupakan potensi paling dominan.
  • Energi Angin: Potensi mencapai 15.5 GW pada ketinggian 50 meter.
  • Energi Air (Hidro): Potensi sebesar 1.5 GW.
  • Energi Biomassa: Potensi sekitar 75 MW.

Selain itu, potensi lain seperti panas bumi (geothermal) dan energi arus laut juga sedang dalam tahap eksplorasi dan kajian.32 Angka potensi surya sebesar 721 GW adalah angka yang transformatif. Kapasitas ini tidak hanya lebih dari cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan listrik Maluku, tetapi juga berpotensi mengubah provinsi ini menjadi pengekspor energi bersih. Hal ini seharusnya mengubah kerangka berpikir kebijakan, dari sekadar "mengatasi defisit energi" menjadi "membangun pilar ekonomi baru berbasis energi hijau".

4.3 Inovasi Teknologi untuk Wilayah Tersulit

Untuk mengatasi tantangan geografis yang ekstrem, pemerintah dan PLN telah menerapkan berbagai solusi teknologi inovatif yang disesuaikan dengan kondisi setiap wilayah. Tidak ada satu solusi yang cocok untuk semua, sehingga pendekatan berjenjang (tiered approach) menjadi strategi yang paling efektif.

  • Tier 1 (Sistem Utama/Perkotaan): Untuk memperkuat sistem kelistrikan utama seperti di Ambon, solusi skala besar dan mobile seperti Barge Mounted Power Plant (BMPP) Nusantara-1 berkapasitas 60 MW dioperasikan. Ini menunjukkan kemampuan untuk menyediakan daya besar secara cepat.34
  • Tier 2 (Desa Terpencil namun Terjangkau): Untuk desa-desa yang masih dapat dijangkau, solusi yang diterapkan adalah pembangunan PLTS Terpusat/Komunal dalam skema mini-grid. Ini adalah bagian dari program dedieselization atau pembangunan baru yang dilaksanakan oleh Kementerian ESDM dan PLN.35
  • Tier 3 & 4 (Desa Sangat Terpencil/Tidak Terjangkau Jaringan): Untuk lokasi yang paling sulit, di mana pembangunan mini-grid pun tidak praktis, solusi inovatif Alat Penyalur Daya Listrik (APDAL) diterapkan. Sistem ini berfungsi seperti "power bank" komunal, di mana warga dapat menukar baterai portabel di Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) yang ditenagai oleh PLTS. APDAL dirancang untuk melistriki desa-desa yang sangat terpencil, seperti yang direncanakan untuk 285 desa di wilayah Maluku dan Papua dalam RUPTL 2021-2030.37

Pendekatan berjenjang ini memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien, dengan menerapkan teknologi yang paling sesuai dengan tingkat kesulitan dan kebutuhan di setiap lokasi.

Bagian 5: Dampak Sosio-Ekonomi dan Urgensi Keadilan Energi

Angka dan data teknis mengenai defisit listrik menjadi lebih bermakna ketika diterjemahkan ke dalam dampak nyata terhadap kehidupan manusia dan perekonomian. Ketiadaan listrik bukan sekadar masalah teknis, melainkan isu mendasar yang berkaitan dengan kesejahteraan, peluang ekonomi, dan keadilan sosial.

5.1 Listrik sebagai Katalis Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan

Kehadiran listrik adalah prasyarat fundamental bagi pembangunan ekonomi modern. Studi akademis yang dilakukan di Universitas Pattimura telah menunjukkan secara kuantitatif adanya korelasi positif yang kuat dan signifikan antara konsumsi listrik dengan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Maluku.39 Akses terhadap listrik yang andal memungkinkan peningkatan produktivitas di berbagai sektor. Bagi masyarakat nelayan, listrik berarti dapat menggunakan cold storage untuk mengawetkan hasil tangkapan. Bagi pelaku usaha kecil, listrik memungkinkan penggunaan peralatan modern untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produksi.

Lebih jauh, akses energi yang memadai terbukti berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan keluarga dan layanan sosial masyarakat.41 Ketiadaan listrik di 136-205 desa dan pasokan yang terbatas di 505 desa lainnya merepresentasikan biaya peluang (opportunity cost) yang sangat besar bagi Maluku. Kondisi ini secara efektif menekan potensi ekonomi lokal dan menghambat upaya pengentasan kemiskinan. Investasi dalam elektrifikasi, oleh karena itu, bukanlah sekadar biaya sosial, melainkan investasi ekonomi strategis dengan tingkat pengembalian yang tinggi dalam bentuk pertumbuhan PDRB dan peningkatan kualitas hidup.

5.2 Suara dari Kegelapan: Kisah Nyata dari Desa-Desa Tanpa Listrik

Di balik statistik, terdapat kisah-kisah nyata yang melukiskan penderitaan dan ketertinggalan akibat ketiadaan listrik. Laporan-laporan jurnalistik dari lapangan memberikan gambaran yang gamblang mengenai kehidupan di "zona gelap" Maluku.

  • Di Desa Abio dan Huku Kecil, Kabupaten Seram Bagian Barat, anak-anak terpaksa belajar di bawah temaram lampu pelita. Warga harus menempuh perjalanan ekstrem selama berjam-jam, menyeberangi sungai dengan rakit, hanya untuk menjual hasil bumi atau mengakses layanan dasar. Kehidupan mereka digambarkan sebagai "masih sengsara" meskipun Indonesia telah lama merdeka.18
  • Di Desa Effa, Lehema, dan Ilily, Kecamatan Wakate, Kabupaten Seram Bagian Timur, warga merasa seolah "belum merdeka". Proyek pembangunan tiang listrik yang pernah masuk ke desa mereka mangkrak dan kini tiang-tiang tersebut telah berkarat, menjadi monumen harapan yang pupus. Mereka hidup dalam gelap gulita total, terisolasi dari akses informasi dan peluang ekonomi.17

Kisah-kisah ini mengubah laporan teknis menjadi sebuah panggilan mendesak untuk bertindak atas dasar keadilan sosial. Narasi "belum merdeka" adalah sebuah pernyataan emosional dan politis yang kuat, yang menggarisbawahi bahwa akses terhadap listrik adalah hak asasi manusia dan prasyarat untuk menikmati hak-hak dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan partisipasi ekonomi.

Bagian 6: Kerangka Kerja Strategis dan Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan analisis komprehensif terhadap data, tantangan, dan potensi yang ada, dirumuskan serangkaian rekomendasi kebijakan strategis yang bertujuan untuk mengakselerasi pencapaian elektrifikasi 100% dan mewujudkan keadilan energi di Provinsi Maluku.

6.1 Penguatan Tata Kelola dan Koordinasi Lintas Sektor

Analisis pada Bagian 3 menunjukkan bahwa banyak hambatan elektrifikasi bersifat lintas sektoral, melibatkan isu infrastruktur jalan, status kawasan hutan, dan pertanahan. Untuk mengatasi ini, pendekatan silo tidak akan efektif.

  • Rekomendasi: Membentuk Gugus Tugas Percepatan Elektrifikasi Maluku. Gugus tugas ini idealnya dipimpin oleh Sekretaris Daerah Provinsi dan beranggotakan perwakilan tingkat pengambil keputusan dari BAPPEDA, Dinas ESDM, Dinas PUPR, Dinas Kehutanan, Kantor Wilayah BPN, dan PT PLN (Persero).
  • Justifikasi: Forum ini akan berfungsi sebagai mekanisme satu atap (one-stop forum) untuk memetakan, mengidentifikasi, dan menyelesaikan hambatan-hambatan regulasi dan koordinasi secara proaktif, bukan reaktif. Ini sejalan dengan kebutuhan pemetaan masalah yang telah disuarakan oleh DPRD Maluku untuk mengetahui secara pasti lokasi dan status kendala infrastruktur penunjang.12

6.2 Akselerasi Pemanfaatan EBT melalui Kebijakan Afirmatif

Paradoks ketergantungan pada diesel di tengah kelimpahan potensi EBT harus segera diakhiri melalui kebijakan yang berpihak pada energi bersih.

  • Rekomendasi: Pemerintah Provinsi Maluku, melalui BAPPEDA dan Dinas ESDM, harus menyusun Master Plan Energi Terbarukan Daerah. Rencana ini harus menjadikan potensi surya sebesar 721 GW sebagai landasan strategi pembangunan ekonomi baru, bukan hanya sebagai solusi kelistrikan. Selain itu, perlu ada penyederhanaan dan percepatan proses perizinan untuk proyek PLTS skala kecil (off-grid dan mini-grid) di wilayah 3T.
  • Justifikasi: Visi Maluku harus melampaui sekadar memenuhi kebutuhan listrik domestik. Dengan potensi sebesar itu, Maluku dapat memposisikan diri sebagai pusat energi bersih di Indonesia Timur, menarik investasi, dan menciptakan lapangan kerja baru. Kebijakan afirmatif diperlukan untuk mengubah potensi di atas kertas menjadi proyek nyata di lapangan.4

6.3 Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah dan Anggaran

PT PLN (Persero) tidak dapat bekerja sendiri dalam menghadapi tantangan yang kompleks di lapangan, terutama yang bersifat sosial.

  • Rekomendasi: Pemerintah Kabupaten/Kota perlu secara proaktif mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk dua tujuan spesifik: (1) Mendanai kegiatan sosialisasi, mediasi, dan fasilitasi dalam proses pembebasan lahan dan penyelesaian sengketa sosial terkait pembangunan jaringan listrik. (2) Menyediakan program bantuan atau subsidi biaya penyambungan baru bagi rumah tangga tidak mampu, untuk memastikan infrastruktur yang sudah dibangun dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat.
  • Justifikasi: Peran Pemda sangat krusial untuk mengatasi hambatan sosial yang bersifat sangat lokal, seperti yang terjadi di Buru Selatan dan Tulehu.6 Alokasi APBD, meskipun dalam jumlah terbatas, memberikan sinyal komitmen politik yang kuat dan dapat mempercepat realisasi program Lisdes. Kebutuhan ini juga disorot oleh PLN di Kabupaten Maluku Barat Daya, di mana keterbatasan finansial calon pelanggan menjadi kendala.23 Pemerintah Provinsi sendiri telah melakukan program serupa di 5 kabupaten pada tahun 2022, yang dapat dijadikan model.43

6.4 Mengadopsi Model Investasi yang Fleksibel

Ketergantungan penuh pada anggaran PLN dan APBN/APBD akan memperlambat laju elektrifikasi. Diperlukan terobosan dalam model pendanaan.

  • Rekomendasi: Mendorong dan memfasilitasi skema Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS/PPP) untuk pengembangan pembangkit EBT skala kecil hingga menengah di pulau-pulau terpencil. Dalam skema ini, pemerintah daerah dapat berperan sebagai fasilitator perizinan dan lahan, sementara PLN bertindak sebagai pembeli listrik (offtaker).
  • Justifikasi: Melibatkan sektor swasta dapat menyuntikkan modal investasi baru, membawa inovasi teknologi, dan menciptakan model bisnis yang lebih berkelanjutan untuk operasi dan pemeliharaan pembangkit di daerah terpencil. Hal ini sejalan dengan semangat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang membuka ruang bagi partisipasi swasta dalam penyediaan listrik nasional.44


Defisit Akses Ketenagalistrikan dan Peta Jalan Energi Berkeadilan di Provinsi Maluku | EcoJustice.online



Sign in to leave a comment